K-TV | Ekonomi syariah bukan menjadi hal baru bagi masyarakat Indonesia. Sejak tahun 1991, ekonomi syariah sudah masuk ke Indonesia bertepatan dengan lahirnya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI). BMI merupakan bank syariah pertama di Indonesia.
Namun, meski sudah berpuluh tahun lamanya, pemahaman mengenai ekonomi syariah nyatanya masih minim. Karena, masih banyak yang masih menganggap “riba” sebagai bagian dari perbankan syariah.
Beberapa tudingan yang kerap kali dilontarkan, bahkan dalam praktiknya “bunga” sering kali disebut-sebut dalam lingkungan lembaga keuangan syariah. Hal ini membuktikan bahwa edukasi mengenai ekonomi syariah sangatlah minim.
Sehingga perlu menyeragamkan pemahaman dan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai “bunga” dan “riba” yang tidak lagi ada dalam praktik perbankan syariah. Beberapa statement juga bermunculan seperti anggapan lembaga syariah dan konvensional sama saja, hanya beda istilah.
Dalam upaya merealisasikan tujuan kemanusiaan harus dilakukan dengan strategi yang manusiawi pula. Elemen tersebut yakni penghapusan riba. Sesuai dengan salah satu buku Dr. Umer Chapra yang berjudul “Phohibition of interest: Does it make sence?”, meski pemikiran tentang perbankan bebas bunga di dunia modern telah muncul dari tahun 1975 di Dubai dan berkembang “Islamic Windows” namun masih saja ada semacam skeptis dari masyarakat dalam mempertanyakan kebenaran pengharaman bunga, dan kemungkinan untuk mendirikan sistem yang bebas bunga secara utuh.
Beberapa ulasan mengenai diharamkannya riba, sebenarnya memberikan kita kesadaran bahwa alasan mengapa riba diharamkan yaitu karena Islam menginginkan sistem ekonomi yang adil dan segala bentuk eksploitasi bisa dihapuskan.
Segala bentuk ketidakadilan antara pihak pemodal yang selalu menginginkan return yang positif tanpa bekerja dan berbagi resiko, sementara pelaku bisnis perlu bekerja keras tanpa mendapatkan kepastian atas return yang selalu positif. Terwujudnya keadilan dalam pelaku ekonomi bisnis inilah yang diharapkan dalam Islam.
Penjelasan lebih lanjut mengenai tudingan miring pada lembaga keuangan syariah mengenai perbedaan istilah, Imam Syafii menghukumi transaksi dalam fikih muamalah dari lafadz dan alur, yakni ucapan yang berarti istilah atau asmaa’ dalam Bahasa Arab.
Sehingga istilah itu menjadi penting, bahkan sudah ada legal formalnya mengenai lembaga syariah hingga muncul secara khusus undang undang mengenai perbankan syariah.
Begitupula dengan anggapan bahwa hanya beda akad, padahal jelas akad menjadi pembeda karena nikah dianggap sah apabila sudah akad. Karena apabila belum akad tidak dianggap menikah melainkan zina. Dari logika sederhana ini tentu tidak dapat disepelekan karena beberapa perbedaan nyata bahwa konsep, prosedur, akad, tata kelola dalam lembaga keuangan syariah jelas itu yang menjadi pembeda dengan konvensional.
Salah satu praktik yang digunakan dalam lembaga keuangan syariah yakni dagang, sesuai dengan regulasi di negeri ini, BI, OJK, dan semua regulasi terkait lembaga keuangan syariah dalam mengambil profit, yaitu harus menggunakan skema transaksi dagang.
Sehingga akad dagang (tijarah) terdiri dari jual beli (bay’) dan kongsi (syirkah). Sehingga dalam praktiknya tidak ada lagi bunga, melainkan margin dari keuntungan atas transaksi jual beli. Sedangkan konvensional tidak ada dagang, adanya kredit yang mengambil keuntungan dengan bunga.
Skemanya berbeda, risikonya berbeda, dan hukumnya pun berbeda. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa lembaga keuangan syariah tidak sama dengan lembaga konvensional sehingga sudah seharusnya istilah dan penggunaan bahasa bunga tidak lagi digunakan dalam praktik lembaga keuangan syariah.